HISTORY OF SUSHI
Konon kebiasaan mengawetkan ikan dengan menggunakan beras dan cuka berasal dari daerah pegunungan di Asia Tenggara. Istilah sushi berasal dari bentuk tata bahasa kuno yang tidak lagi dipergunakan dalam konteks lain; secara harfiah, “sushi” berarti “itu (berasa) masam”,[2] suatu gambaran mengenai proses fermentasi dalam sejarah akar katanya. Dasar ilmiah di balik proses fermentasi ikan yang dikemas di dalam nasi ialah bahwa cuka yang dihasilkan dari fermentasi nasi menguraikan asam amino dari daging ikan. Hasilnya ialah salah satu dari lima rasa dasar, yang disebut umami dalam bahasa Jepang.[3]
Lukisan sushi oleh Ichiyusai Hiroshige dari Zaman Edo.
Nigirizushi dikenal di Jepang sejak zaman Edo. Sebelum zaman Edo, sebagian besar sushi yang dikenal di Jepang adalah jenis oshizushi (sushi yang dibentuk dengan cara ditekan-tekan di dalam wadah kayu persegi).[4] Pada zaman dulu, orang Jepang mungkin kuat makan karena sushi selalu dihidangkan dalam porsi besar. Sushi sebanyak 1 kan (1 porsi) setara dengan 9 kan (9 porsi) sushi zaman sekarang, atau kira-kira sama dengan 18 kepal sushi (360 gram). Satu porsi sushi zaman dulu yang disebut ikkanzushi mempunyai neta yang terdiri dari 9 jenis makanan laut atau lebih.
Pada zaman Edo periode akhir, di Jepang mulai dikenal bentuk awal dari nigirizushi. Namun ukuran porsi nigirizushi sudah dikurangi agar lebih mudah dinikmati. Ahli sushi bernama Hanaya Yohei menciptakan sushi jenis baru yang sekarang disebut edomaezushi.[4] Namun ukuran sushi ciptaannya besar-besar seperti onigiri. Pada masa itu, teknik pendinginan ikan masih belum maju. Akibatnya, ikan yang diambil dari laut sekitar Jepang harus diolah lebih dulu agar tidak rusak bila d ijadikan sushi.
Sampai tahun 1970-an sushi masih merupakan makanan mewah. Rakyat biasa di Jepang hanya makan sushi untuk merayakan acara-acara khusus, dan terbatas pada sushi pesan-antar. Dalam manga, sering digambarkan pegawai kantor yang pulang tengah malam ke rumah dalam keadaan mabuk. Oleh-oleh yang dibawa untuk menyogok istri yang menunggu di rumah adalah sushi. Walaupun rumah makan kaitenzushi yang pertama sudah dibuka tahun 1958 di Osaka, penyebarannya ke daerah-daerah lain di Jepang memakan waktu lama. Makan sushi sebagai acara seluruh anggota keluarga terwujud di tahun 1980-an sejalan dengan makin meluasnya kaitenzushi.
Keberhasilan kaitenzushi mendorong perusahaan makanan untuk memperkenalkan berbagai macam bumbu sushi instan yang memudahkan ibu rumah tangga membuat sushi di rumah. chirashizushi atau temakizushi dapat dibuat dengan bumbu instan ditambah nasi, makanan laut, tamagoyaki dan nori.
Jenis
Sushi pada umumnya digolongkan berdasarkan bentuk nasi, antara lain nigirizushi, oshizushi, chirashizushi, inarizushi, dan narezushi.
Nigirizushi
Makanan laut segar (pada umumnya mentah) diletakkan di atas nasi yang dibentuk dengan menaruh nasi di telapak tangan yang satu dan membentuknya dengan jari-jari tangan yang lain. Nori sering dipakai untuk mengikat neta agar tidak terlepas dari nasi. Lauk yang diletakkan di atas sushi juga bisa dalam keadaan matang seperti tamagoyaki atau belut unagi dan belut anago yang sudah dipanggang.
Pada mulanya, edozushi adalah sebutan untuk sushi yang menggunakan hasil laut Teluk Tokyo, tapi sekarang sering digunakan untuk menyebut nigirizushi. Di Hokkaido yang terkenal dengan hasil laut, istilah namazushi (生寿司?, sushi mentah) dipakai untuk sushi dengan neta mentah. Istilah ini dipakai untuk membedakannya dari sushi asal daerah lain yang sering merebus lebih dulu neta seperti udang yang mudah kehilangan kesegarannya.
[sunting] Neta untuk nigirizushi
* Ikan: aji (selar), iwashi (lemuru), kajikimaguro (marlin), katsuo (cakalang), karei (ikan lidah atau ikan sebelah mata kanan), salem), saba (ikan kembung), sanma (saury), suzuki (kerapu), kakap, hamachi (ikan sunglir, nama bergantung usia ikan, bisa disebut buri atau kanpachi), ikan hiramasa, hirame (ikan sebelah), toro (daging perut yang berlemak dari ikan tuna atau tongkol), mekajiki (todak), ikan ainame.
* Kerang: aoyagi (bakagai), akagai, hotategai (tiram), hokkigai (ubagai), mirugai (mirukui), tsubu.
Tobiko warna-warni.
Natto di atas nasi.
Aburage.
* Belut: anago, unagi
* Udang: amaebi, blacktiger, kuruma ebi, lobster, botan ebi
* Kepiting (rajungan): zuwaigani, tarabagani
* Telur ikan: ikura, tobiko
* Cumi-cumi, uni (bulu babi), dan gurita
* Aburage, kanikamaboko (kamaboko daging kepiting tiruan), kampyo (serutan labu yang dikeringkan), mentimun, dashimaki, natto (kedelai fermentasi), neri ume (saus buah plum), negitoro (cacahan daging ikan tuna dengan daun bawang), tsukemono (sayuran hasil fermentasi).
Sushi yang dijual di kaitenzushi mempunyai banyak variasi neta yang bukan asli Jepang, seperti miniburg (daging isi hamburger), berbagai macam jenis daging seperti charsiu, ikan tuna kaleng, dan alpukat.
[sunting] Cara makan
* Nigirizushi dinikmati dengan mencelup sedikit bagian neta ke dalam kecap asin.
* Nigirizushi umumnya dimakan dengan tangan, walaupun boleh-boleh saja dimakan memakai sumpit.
* Nigirizushi biasanya dimakan dengan sekali suap.
Health risks
As with most foods, sushi is not free from health risks, but these risks are minimized with proper preparation and service. Some large fish, such as tuna (especially bluefin), can harbor high levels of mercury. This is due to the tuna’s position at the top of the food chain (among sea creatures). Thus, tuna can lead to mercury poisoning when consumed in quantity.[16] Details are also described in an article, “Mercury in fish“. The FDA recommends eating up to 6 – 12 ounces a week of a variety of fish and shellfish.[17]
Parasite infection by raw fish is rare in the modern world (fewer than 40 cases per year in the U.S.),[18] and involves mainly three kinds of parasites: Clonorchis sinensis (a trematode/fluke), Anisakis (a nematode/roundworm) and Diphyllobothrium (a cestode/tapeworm).[18] Infection risk of anisakis is particularly higher in fish which may live in a river such as salmon (shake) in Salmonidae, and mackerel (saba). Such parasite infections can generally be avoided by boiling, burning, preserving in salt or vinegar, or freezing overnight.
For the above reasons, the EU regulation No 853/2004[19] forbids the use of fresh raw fish; it has to be frozen at temperatures below -20 °C in all parts of the product for not less than 24 hours.
Some forms of sushi, notably those containing pufferfish fugu and some kinds of shellfish, can cause severe poisoning if not prepared properly. Particularly, fugu has a lethal dose of tetrodotoxin in its internal organs and must be prepared by a licensed fugu chef who has passed the prefectural examination in Japan.[20]